Lyrics
Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok yang hangus di permukaannya.
Kita makan bersama.
Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah revolusi yang berganti kaki,
di atas sebuah kapal perang yang diparkir di Selat Sunda.
Sebuah perundingan untuk menjemput diri sendiri:
Kaki-kaki kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau duduk atau berdiri.
Bau belerang dari punggung krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan berteriak:
musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga sudah ada di dalam pagar.
Sebuah republik yang terbayang di pintu belakang.
Seorang lelaki di pintu kaca:
tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau
berjalan masuk.
Hilir-mudik para peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang lelah.
Sebuah bank di antara tentara-tentara perdamaian.
Aku bersamamu, dalam satu mobil tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi, di pangkuan seorang perempuan.
“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian seorang ibu.”
Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk membungkam slogan.
Seorang Sukarnois yang menyimpan kartu pos patung liberty di saku mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di antara korek api dan badai sebuah pesta.
Seorang lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal,
sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi 3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarm.”
Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti menghanyutkan anaknya?
Karna, bagaimanakah, Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula membenamkan akal sehat ke dalam keuangan negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua telah menjadi gila di tangan suamimu.
Kekuasaan telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran kita.
Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri yang masih tertidur di sebuah kereta.
Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang penjual air bersih di sebuah kantor majalah.
Seorang wartawan yang membidik dengan kata.
Sebuah kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jendela kaca. Sebuah kantor majalah yang kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan sebuah bangsa.
Jalan gula yang membuat jalur kereta dari Klaten ke Amsterdam.